Suatu hari di weekend, rasanya sedang riweh di rumah. Anak saya yang besar usia 5 tahun meminta nonton TV karena dia capek. Keluarga kami termasuk yang pelit memberikan anak nonton TV ataupun gadget, jadi kalau tidak kepepet anak-anak harus nonton, kami selalu menganjurkan aktivitas lain yang bukan nonton. Waktu itu, saya memperbolehkan dia menyetel TV dan tanpa disangka, kalimat pertama yang saya dengar dari TV adalah, “We are rainbow family, I have 2 dads.” Spontan dan tidak siap, saya langsung berkata, “Matiin please, itu filmnya jelek. Kamu nonton yang lain aja dari HP mami.”

Setelah saya berkata begitu, saya masih sibuk yang lain, jadi saya tidak berkata apa-apa lagi. Di benak saya yang paling dalam, saya tahu kalau reaksi saya salah. Semestinya, saya berbicara yang jelas kepada dia tentang alasan saya melarangnya nonton apa yang tadi ada di TV. Saya bersyukur karena beberapa waktu lalu suami saya ikut seminar “Beloved” yang sempat ditawarkan di TOM dan sel, dia diingatkan kembali tentang cara praktis yang harus dilakukan dalam menghadapi hal ini dan yang paling penting membuat kami “sadar” kalau ini adalah hal kategori “urgent” untuk kami karena menurut pembicara, anak-anak di Australia umumnya sudah mulai terekspos dan belajar mengenai seksualitas di usia 4 tahun.

Keesokan harinya setelah seminar selesai, saya berdiskusi kembali dengan suami saya mengenai kejadian nonton TV tersebut. Kami setuju bahwa reaksi saya terhadap anak saya ternyata merupakan contoh nyata dari saya untuk menghindar membicarakan hal yang tidak nyaman kepadanya dan sebagai anak, dia bisa mengartikan bahwa hal ini tidak nyaman dibicarakan di rumah.

Tuhan memang kadang membukakan jalan dengan cara yang unik. Kebetulan sekali di minggu itu, kami baru saja ke library. Biasanya di library anak-anak kami bebaskan memilih buku untuk dipinjam ke rumah. Buku juga biasanya saya screening dulu apakah ada konten yang aneh-aneh misalnya terkait LGBTQ. Hari itu ketika saya mau membacakan buku saat breakfast, ternyata salah satu buku berjudul “Love” isinya tentang hal tersebut, dimana di salah satu halaman ada gambar dua orang dengan baju wedding namun sama-sama pria, satu pria dengan jas dan satu pria dengan gaun putih. Kebetulan yang kedua, belum lama ketika saya belanja di Salvation Army dan sedang membayar di kasir, di kasir ada dua bible untuk anak-anak, satu versi bergambar dan satu versi lebih kaya tulisan namun ada kata “Catholic Bible” di depannya. Saya langsung memutuskan membeli dan ternyata ketika saya mau membayar mereka bilang itu gratis karena bible. Wow 🙂

Disitulah saya memulai “walk the talk”. Saya memulai bicara kepadanya, “Kamu ingat ketika kamu nonton TV tentang rainbow family dan mami minta kamu matikan?” “Iya,” jawab dia. Otak saya berpikir keras. Dan “rainbow” akhirnya menjadi jalan bagi saya untuk menjembatani dua kisah yang kontradiktif ini. Saya membawa buku bible yang Tuhan berikan secara gratis untuk saya. Membaca cepat kisah penciptaan, dan Adam dan Hawa, dan bagaimana manusia diciptakan indah sebagai laki-laki dan perempuan. Berlanjut cepat ke kisah Nabi Nuh dimana disitu ada gambar rainbow. Saya menceritakan bagaimana sebuah rainbow yang tadinya kita hanya kenal sebagai lambang janji penyertaan Allah kemudian digunakan sebagai lambang menentang jalan yang diciptakanNya dan bahwa rainbow 6 warna berbeda dengan rainbow 7 warna.

Pengalaman sederhana saya ini membuat saya bersyukur atas cara-cara Tuhan yang unik untuk berbicara di kehidupan keluarga kami. Di segala kesibukan kita, semoga kita selalu bisa terbuka dan disadarkan kembali akan betapa Tuhan menyediakan segala kebutuhan kita dan membukakan jalan yang unik dan spesial bagi kita.

Trust in the Lord with all your heart, and do not rely on your own insight. In all your ways acknowledge him, and he will make straight your paths.” (Proverbs 3:5-6) (LGA)

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *