Bulan ini saya dan suami merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Kami bersyukur untuk penyertaan tangan Tuhan di kehidupan rumah tangga kami sampai detik ini. Tahun pertama kehidupan pernikahan kami, walaupun banyak penyesuaian, namun secara keseluruhan terasa menyenangkan. Ada honeymoon, saya pindah ke rumah suami, saya mendapat pekerjaan baru, lalu kami banyak travel kesana kemari. We had a lot of good memories in our first year.
Berbeda dengan tahun pertama yang honeymoon period, di tahun kedua pernikahan ini, kami diijinkan melalui banyak hal yang mendewasakan kami sebagai individual dan menguatkan kami sebagai pasangan. Papa mertua saya meninggal, keluarga saya struggle financially dan juga secara relational antara satu sama lain, saya masuk rumah sakit, investment property kami sempat bermasalah, sudden restructuring di pekerjaan saya, dan ada satu kerinduan pribadi kami sebagai pasangan yang belum terjawab.
Bertubi-tubi masalah-masalah itu terjadi, dimulai dari bulan April tahun lalu sampai bulan Maret tahun ini. Tuhan seperti tidak memberi kita waktu untuk istirahat. Ujian terus rasanya. Satu ayat pegangan kami di masa-masa sulit kami adalah dari Roma 5:3-5 yang berbicara tentang bagaimana kesengsaraan menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.
Semua masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga kami tidak membuat kami goyah namun sebaliknya, masalah-masalah ini menguatkan kami berdua sebagai pasangan. Kami belajar untuk lebih terbuka dan being vulnerable ke satu sama lain. To admit that you are not okay and you need help. And it is okay to not be okay, because we can’t be strong all the time. The bible says in Galatians 6:2 to bear one another’s burdens. It also says that two are better than one because if either of them falls down, one can help the other up (Ecclesiates 4:9-10).
Satu hal lain yang kami juga belajar selama setahun terakhir ini adalah tentang ‘when you marry someone, you marry the family’. Keluarga saya sedang luar biasa ruwetnya setahun terakhir ini. Karena satu dan lain hal, many times I feel it’s very difficult to love them. Let alone my husband. Namun disinilah saya belajar dari dia untuk mempunyai hati yang seluas samudra. Hati yang mau tetap mengasihi orang-orang yang sulit untuk dikasihi. Seperti kata 1 Korintus 13: Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Trials are inevitable in every marriage life. The rain descended, the floods came, and the winds blew. But we believe, a marriage that stands on the bedrock of a strong relationship with Jesus Christ can weather any storm that comes along. Luke 6:47-48 “I will show you what it’s like when someone listens to my teaching and then follows it. It is like a person building a house who digs deep and lays the foundation on a solid rock. When the floodwaters rise and break against that house, it stands firm because it is well built.”
God Bless (AS)
No responses yet