Looking back, sudah dua bulan terakhir ini, kerjaan saya rasanya sibuk sekali. Rasanya sudah tidak ada waktu untuk banyak hal. Salah satu hal yang terbengkalai, yang rasanya sudah hampir jadi “hanya kenangan” adalah komitmen yang telah saya berhasil lakukan selama beberapa bulan di tahun lalu: lari 10 menit.
Tahun lalu, kakak saya sharing kalau ia mencoba lari setidaknya 10 menit di sekitar rumahnya untuk kesehatan jantungnya. Kesehatan tubuh, terutama jantung, punya tempat yang spesial di hati kakak saya dan saya, karena almarhum papa meninggal karena suatu masalah di jantungnya, meskipun ia tidak ada masalah umum lain, misalnya diabetes, atau masalah umum orang tua Indonesia. Papa dulu sangat slim, sangat energik, sangat aktif ini dan itu, namun, tetap saja bisa ada masalah di jantung. Sebagai anak-anaknya, mengingat ketika Papa sakit, kami punya komitmen untuk hidup lebih sehat. Mulai dari praktek eating reorder dari tiga tahun lalu dan masih terus dicoba dijadikan lifestyle sampai sekarang, dan lari pagi ini salah satunya.
Lari yang terbengkalai ini menjadi semakin mengusik hati saya karena belakangan ini saya sangat jarang kerja di kantor, paling satu atau dua minggu sekali, dan sisanya kerja dari rumah. Dipikir-pikir, lari ini cuman 10 menit dari satu hari saya. Kenapa, sih, saya tidak bisa melakukannya?
Di masa prapaskah ini, yang sudah akan berakhir di Minggu ini, saya menjalani pantang yang sederhana: komitmen tidak makan salah satu jenis rasa makanan kesukaan saya. Di awal paskah ketika saya membicarakan komitmen saya kepada suami dan anak-anak saya, saya iseng mengajak anak saya yang berusia 4 dan 6 tahun pantang sesuatu. Saya terkejut dan kagum bahwa mereka ternyata ingat dan berhasil untuk tidak makan satu jenis makanan yang mereka komitmenkan untuk pantang, meskipun baru 4 dan 6 tahun! Komitmen ini membuat hati saya makin terusik. Mereka saja bisa melakukan hal simpel pantang makan, kenapa saya tidak bisa mendorong diri saya untuk lari 10 menit?
Akhirnya, di hari senin ini, saya mendorong diri saya sekuat mungkin untuk kembali lari 10 menit. Hari ini belum genap seminggu dari saya mulai, tapi saya sudah berhasil memulai kembali. Masa-masa sibuk dan prapaskah ini membawa saya kepada refleksi saya pribadi, bahwa: ada hal-hal di hidup ini yang tidak butuh “keinginan” untuk dilakukan.
Misalnya, level 1: makan. Kita butuh makan di jam makan, tidak perlu ingin makan. Kalau sudah berhasil, level 2: makan sehat. Kita sebenarnya perlu selalu makan sehat kalau mau sehat, tidak perlu lagi “ingin makan sehat”. Level 3: makan seperlunya. Kita sebenarnya tidak perlu memuaskan nafsu makan kita. Makanlah yang perlu kita makan. Level keinginan ini mungkin berbeda-beda di setiap orang, tapi tentunya kita semua setuju akan level satu: kita perlu makan, tidak perlu menunggu ingin makan.
Adakah hal lain yang membuat teman-teman juga berpikir kalau hal ini perlu dilakukan, tidak perlu ingin dilakukan? Kalau saya, misalnya, lari 10 menit. Atau, baca Kitab Suci. Atau, pujian penyembahan. Atau, bersih-bersih rumah. Dan lain sebagainya.
Hari ini, mari mengingat kembali akan hal-hal tersebut, yang mungkin Roh Kudus sudah terus bisikkan di dalam hati kita. Hal-hal yang tidak perlu menunggu “ingin” untuk terus kita lakukan. Do it anyway.
“Do not be deceived: God cannot be mocked. A man reaps what he sows. Whoever sows to please their flesh, from the flesh will reap destruction; whoever sows to please the Spirit, from the Spirit will reap eternal life. Let us not become weary in doing good, for at the proper time we will reap a harvest if we do not give up. Therefore, as we have opportunity, let us do good to all people, especially to those who belong to the family of believers.” (Galatians 6:7-10)
(LGA)
No responses yet