09 Juli 2025, dua hari sebelum kepulanganku ke Perth dari Surabaya, aku memutuskan untuk mengajak Papa ngobrol berdua. Kalau biasanya percakapan kami hanya di permukaan, hari itu aku ingin membahas banyak hal yang selama ini tertahan.

Maklum, sehari sebelumnya keluarga kami sempat bertengkar hebat. Masalahnya sebenarnya sepele, hanya soal pengeluaran untuk kesehatan. Papa bersikukuh dengan pandangannya, Mama bertahan dengan prinsipnya. Aku yang selama ini sudah banyak mendengar keluh kesah Mama soal keluarga, ikut terpancing emosi.

Sebenarnya sudah sejak lama Mama memintaku untuk bicara dari hati ke hati dengan Papa. Tapi aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Entah karena pelayanan, entah waktunya yang tidak tepat, atau karena aku merasa itu bukan urusanku. Padahal aku tahu, semua itu hanyalah alasan agar aku tidak perlu terlibat. Bahkan mencoba saja belum.

Tanpa kusadari, keluhan Mama selama ini telah membentuk cara pandangku terhadap Papa. Aku sudah terlanjur kesal dan malas berurusan. Bahkan saat Papa melakukan kebaikan, rasanya sulit bagiku untuk melihat itu secara tulus. Yang terus membayang di benakku hanyalah gambaran tentang Papa menurut versi Mama.

Pagi itu, ditemani segelas es matcha latte, aku mencoba merendahkan diriku, juga egoku. Aku berusaha menyingkirkan opini-opini yang pernah kudengar, dan mulai bertanya berdasarkan apa yang kulihat dan kurasakan sendiri. Aku ingin tahu dari sudut pandangnya: apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang dia pikirkan? Apa rencananya ke depan?

Tanpa terasa, hampir tiga jam kami mengobrol. Tuhan bantu aku mengenalnya lebih dalam, bukan hanya sebagai Papa, tapi sebagai pribadi yang utuh. Aku tidak lagi melihatnya sebagai pria yang malas di usia senjanya. Aku mulai melihatnya sebagai seorang ayah yang terus mengasihi keluarganya dengan caranya sendiri. Aku tidak lagi terpaku pada kegagalannya. Mungkin selama ini, terlalu banyak yang menuntutnya menjadi pria yang sempurna.

Percakapan hari itu mengingatkanku pada dua hal penting:
Pertama, keterbukaan adalah jalan menuju pemulihan dan hubungan yang baru.
Kedua, penting untuk memberi ruang dan waktu agar bisa mendengar dari dua sisi sebelum menilai sesuatu.
Dan lebih dari itu, aku menemukan sebuah awal yang baru untuk hubunganku dengan Papa. Ada semangat baru untuk melihat keluargaku dipulihkan, sedikit demi sedikit.

12 Juli 2025, subuh beberapa jam sebelum aku terbang kembali ke Perth, aku diare parah. Tubuhku lemas.
Jam 3 pagi, Papa yang mengantarku ke UGD. Dia sabar menunggu sampai dua kantong infus habis. Paginya, dia masih sempat menyiapkan bubur untukku.

Aku percaya, tidak ada yang kebetulan. Tuhan memberiku kesempatan untuk sekali lagi merasakan kasih Papa dalam hidupku. Saat aku terbaring lemah di kasur rumah sakit, aku genggam tangan Papa dan berkata: “ Terima kasih, Pa.”

1 Korintus 13:13 “Demikianlah tinggal ketiga hal ini: iman, pengharapan, dan kasih. Dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
(IVO)

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *