Sebagai seorang Katolik yang sudah dibaptis sejak bayi, menurut saya sudah sewajarnya kalau saya adalah seorang expert dalam hal “doa”. Apakah teman-teman setuju? 🙂
Saya masih ingat peristiwa dimana kami sekeluarga duduk di atas tempat tidur, berdoa bersama sebelum tidur. Setiap dari kami dapat giliran, dari kakak saya, saya, mama, dan papa. Saya ingat saat itu saya bingung sekali mau mengucapkan apa ketika tiba giliran saya. Saya akhirnya mengucapkan kalimat seperti “terima kasih untuk makanan yang enak hari ini”. Saat itu setelah berdoa, mama bilang kepada saya, “Doa kamu tadi sangat bagus. Kamu berdoa sesuai yang hati kamu katakan”. Mungkin perkataan itulah yang tanpa sadar membentuk mindset kalau saya “mampu” berdoa. Di sekolah maupun di komunitas, saya tidak pernah ragu kalau diminta tolong berdoa. Saya tahu doa itu bisa sesederahana apapun.
Seiring berjalannya waktu dan peristiwa kehidupan, saya terus berdoa dan mengajarkan anak saya untuk berdoa. Misalnya ketika tadi malam anak saya membangunkan saya karena dia mimpi yang tidak enak, pertanyaan pertama saya padanya adalah, “Kamu sudah doa belum?”
Saya sudah mengajarkan anak saya berdoa sejak dia mulai lancar bicara. Ketika itu, peristiwa besar yang sedang terjadi dalam hidup keluarga kami adalah saya baru mendapat pekerjaan di Australia dan tipikal permintaan dalam doa kami adalah untuk “visa”. Sekarang tentunya tipikal permintaannya adalah soal permanent residency atau “PR”. Karena intensi yang terus menerus sama dalam jangka waktu lama, saya kadang merasa doa keluarga kami menjadi seperti siaran radio yang diulang-ulang. Setelah mengucapkan terima kasih atas apa yang terjadi, mengucapkan intensi, dan membungkusnya dalam Nama Yesus.
Di awal tahun ini kami pergi camping dan saya akhirnya punya sedikit waktu yang telah sukses saya habiskan untuk membaca beberapa halaman di buku yang sedang saya baca tentang parenting. Buku ini bagus sekali karena penulisnya adalah seorang suami istri dengan lima anak dan mereka terinspirasi dari Theology of the Body untuk mempraktekkan parenting mereka. Saya tidak menyangka kalau buku ini ternyata membagikan sesuatu tentang bagaimana mengajarkan anak berdoa.
Framework yang mereka bagikan adalah “PRAISE” framework. Ringkasannya seperti berikut:
P – praise and thanksgiving. Mengucap syukur.
R – repentance. Minta maaf kepada Tuhan atas hal kurang baik yang saya lakukan dan mohon rahmat Tuhan agar jadi lebih baik.
A – ask for your needs. Permohanan atau intensi.
I – intercede for others. Doakan orang lain yang butuh doa.
S – seek his will. Minta petunjuk dan bantuan Tuhan atas masalah yang kita alami.
E – express your desire until you meet again in prayer. Ungkapkan kemauan kita untuk belajar jadi keluarga yang penuh iman, saling mengasihi, dan membawa Tuhan ke apapun yang kita lakukan hari itu.
Wow, luar biasa! Saya tidak lagi kehilangan ide apa yang harus saya doakan. Beberapa hal yang spesial bagi saya dengan mengikuti framework doa ini, misalnya, anak-anak juga mendengarkan doa saya dan mereka juga tahu kalau setiap hari saya juga melakukan kesalahan dan belajar menjadi lebih baik (poin Repentance), hidup ini bukan cuman soal kita atau keluarga kita (poin Intercede), dan membawa Tuhan dalam keseharian kita (poin Express).
Saya rasa ada satu bola lampu yang menyala dalam pikiran saya. Inilah mungkin salah satu cara untuk “mewariskan iman” kepada anak-anak saya, tanpa sadar mengambil kesempatan doa untuk membagikan kesaksian bagi anak-anak saya. Memang kami punya masalah dan banyak salah, namun kami punya Tuhan yang dapat kami andalkan dalam setiap masalah.
James 5:16 “Therefore, confess your sins to one another and pray for one another, that you may be healed. The prayer of a righteous person has great power as it is working.” (LGA)
No responses yet