Pekerjaan saya mengharuskan saya untuk menjalani resertifikasi setiap tahun agar saya dapat terus memegang lisensi use of force. Setiap 12 bulan sekali, saya harus mengikuti sertifikasi bela diri, termasuk penggunaan senjata api.
Sertifikasi ini dilakukan selama tiga hari. Pada hari pertama, saya akan diuji dalam penggunaan borgol, teknik bela diri, dan penanganan Glock 17. Glock adalah jenis pistol yang saya gunakan dalam pekerjaan saya, terkenal dengan safety featuresnya dan paling mudah untuk ditangani. Hari kedua, saya akan diuji dalam ketepatan menembak menggunakan Glock tersebut. Lalu pada hari ketiga, saya akan diuji dalam kemampuan merespon dengan cepat dan tepat akan situasi atau ancaman yang datang tiba-tiba (marksmanship), dan yang terakhir adalah skenario yg mereplikasi situasi nyata.
Di hari pertama, saya tidak lupa untuk melibatkan Tuhan. Saya membuat tanda salib dan berdoa sebelum memulai setiap assessment. Puji Tuhan, saya berhasil melewati semua tes tersebut tanpa kendala sedikit pun.
Keesokan harinya, saya mengikuti tes ketepatan menembak dengan Glock di lapangan tembak yang tidak terlalu jauh dari rumah saya. Namun pagi itu, saya terlalu percaya diri. Saya merasa bahwa selama enam tahun terakhir saya menjalani assessment ini, saya tidak pernah gagal dan selalu lolos pada percobaan pertama.
Pagi itu, saya menjadi sombong dan lupa untuk melibatkan Tuhan. Saya merasa pasti bisa lulus tanpa masalah. Latihan sebelum assessment pun berjalan lancar, semua target dapat saya lewati dengan mudah. Saat akhirnya tiba waktu untuk menjalani assessment yang sesungguhnya, saya menyelesaikan serial satu hingga tujuh dengan yakin bahwa saya lulus semuanya.
Namun ternyata, saya gagal di dua serial. Kegagalan pertama sebenarnya sangat sepele: saya melewati batas waktu yang ditentukan hanya 0,08 detik. Kegagalan kedua, saya kurang satu tembakan ke arah target. Seharusnya lima peluru ditembakkan, tetapi saya hanya menembakkan empat. Akibatnya, saya harus mengulang seluruh tujuh serial dari awal.
Saya merasa sangat sedih dan kecewa. Selama enam tahun terakhir, saya belum pernah gagal dalam assessment ini dan baru kali ini saya gagal. Tapi Tuhan mengingatkan saya bahwa pagi itu saya belum berdoa sebelum memulai semua ini.
Saya langsung teringat akan firman Tuhan:
“Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk. Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah. (Yer 17:5-8)
Saya pun pergi ke sudut lapangan tembak itu dan mulai berdoa. Setelah makan siang, mereka memberikan kesempatan bagi peserta yang harus mengulang untuk mencoba kembali. Sebelum saya memulai ulang assessment tersebut, saya membuat tanda salib dan mengucapkan doa singkat. Singkat cerita, puji Tuhan, saya lulus assessment hari itu.
Di hari ketiga, saya belajar dari hari sebelumnya. Saya berdoa sebelum memulai dua assessment terakhir, dan benar saja, semuanya saya jalani tanpa hambatan.
Pelajaran berharga dari pengalaman ini adalah: apa pun yang telah kita capai sampai hari ini, tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Manusia boleh berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan hasilnya. Libatkan Tuhan, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya kecil sekalipun.
(A.N.T)
No responses yet