Tahun ini adalah milestone yang besar untuk suami saya dan saya. Di O2 pertama TOM tahun 2025 ini, kami pertama kalinya menjadi fasilitator di program teens TOM. Di minggu-minggu sebelum mengajar, kami sudah melakukan beberapa “latihan” dan “table top excercise” bersama. Sebelum hari H, kami juga sudah “warming up” dengan memberikan parent session ke orang tua teens TOM.
Di hari H, rasanya hari itu pikiran kami dari pagi sudah terus terpaku di acara Teens, meskipun mulainya masih jam 5 sore. Saya bilang ke suami saya, “Eh, kamu deg deg an gak sih?” Saya kaget mendengar jawaban dia, “Deg deg an gimana? Gua udah gak bisa tidur dua malam gara-gara mikirin mau ngajar ini.” Kami pun tertawa bersama-sama.
Suami saya dan saya sama-sama mengenal komunitas ketika kami di usia teens. Saya dulu sering jadi “buntut” cici saya ikut hadir mendengar ko Riko Ariefano di Persekutuan Doa Yakobus Kelapa Gading sejak sekitar SD kelas 6 – SMP kelas 1, kemudian jadi “buntut” lagi, ikut ke sebuah komunitas yang namanya Youth for Christ selama SMP. Setelah dia sudah tidak mau dibuntuti lagi, saya ikut Jesus for Youth, komunitas katolik di SMA saya, bergabung ke Antiokhia di SMA kelas 2, dan akhirnya ikut ke persekutan oikumene yang menjadi akar cerita milestone saya berikutnya sebelum kembali ke Gereja Katolik dan bergabung ke Komunitas Tritunggal Mahakudus dan Domus Cordis.
Kisah suami saya lebih klasik. Dia dibaptis di sekitar usia SMP karena kemauan diri sendiri, gara-gara mengenal Yesus dari sekolah. Dia kemudian cuman rutin ke gereja mingguan, sampai akhirnya baru pertama ikut komunitas Katolik ketika kuliah di Singapore.
Kami berdua “mengenal Yesus” di usia teens. Meskipun saya baptis bayi dan selalu ikut kegiatan sekolah minggu di gereja, saya tetap merasa “jatuh cinta” pertama kali dengan Yesus di usia teens. Di usia teens, saya pertama kalinya jatuh cinta dengan teman, HTS-an (Hubungan Tanpa Status), putus cinta, dan peristiwa-peristiwa menarik yang masih membuat tertawa dan dibawa ke masa dewasa saya saat ini. Di usia teens adalah juga ketika saya mulai merasa dewasa, mulai mengenal pornografi secara casual dari komik yang dipinjamkan teman saya, dan masih banyak hal-hal unik dan baru yang tidak pernah saya tahu sebelumnya.
Analogi favorit saya tentang mengajarkan sesuatu ke anak-anak adalah mereka itu seperti membawa sebuah gelas di tangan mereka dan pergi ke sebuah party. Kalau kita sebagai orang tua atau keluarga tidak mengisi gelasnya, ia akan lebih terbuka menerima minuman apapun yang ditawarkan oleh lingkungannya kepada mereka. Kalau kita sudah mengisi gelas mereka, setidaknya ketika mereka ditawari minuman dari orang asing, mereka akan berpikir dua kali, apakah minuman yang ditawarkan orang lain tersebut lebih baik dari yang mereka sudah miliki.
Teens bagi saya adalah masa pencarian jati diri. Masa-masa dimana saya menemukan hal-hal yang menjadi pegangan hidup saya saat ini. Saya bersyukur sudah ada di dalam lingkungan komunitas di usia teens.
Saya mau mengajak teman-teman yang punya anak atau keluarga dekat usia teens, supaya mengenalkan teens akan kehidupan komunitas. Di awal tahun ini, teens ministry di TOM mencoba menata diri kembali, membeli kurikulum yang luar biasa bagusnya untuk dikonsumsi teens yang bergabung di program tahun ini. Semoga tulisan ini mengetuk hati teman-teman untuk mengajak mereka. Tidak ada pengajar yang sempurna, tidak ada orang tua yang sempurna. Tugas kita adalah menabur dan Tuhan yang akan menumbuhkan. Teens adalah saat yang sempurna untuk memulai. Mereka bisa, dan mereka mampu.
Timothy 4:12 “Don’t let anyone look down on you because you are young, but set an example for the believers in speech, in conduct, in love, in faith and in purity“. (LGA)
No responses yet